Mengubah kebiasaan yang mengakar tidak mudah, terutama jika kebiasaan itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Namun, bagi Zhagraf Maulida, 35 tahun, atau akrab disapa Aaf, mengubah praktik tidak sehat yang berdampak pada kesehatan dan masa depan anak-anaknya—dan masyarakatnya—patut diupayakan.
Site: https://theultimatejournal.com/
Seorang ibu tiga anak dari Semarang, Jawa Tengah, misi Aaf untuk mengubah praktik pemberian makan kepada anak dimulai setelah ia menghadiri serangkaian lokakarya gizi anak yang diselenggarakan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama dengan Tanoto Foundation dan UNICEF.
Satu sesi, yaitu tentang makanan pendamping ASI (MPASI) yang sesuai untuk bayi, membuka mata Aaf tentang pentingnya memberikan protein hewani dalam jumlah signifikan kepada anak setelah usia enam bulan.
Sebelum lokakarya tersebut, seperti banyak ibu di lingkungannya, Aaf tidak sadar akan pentingnya hal tersebut bagi tumbuh kembang anak. Untuk dua anak tertuanya, Aaf mengutamakan buah-buahan dan sayuran. Berbekal pengetahuan baru, Aaf mulai mengubah makanan Wulung, putri bungsu yang berusia 17 bulan, dengan menyiapkan menu kaya protein hewani, termasuk ikan, bersama dengan nutrisi penting lainnya.
Aaf tidak berhenti pada menu keluarganya sendiri. Sebagai kader di Fatayat NU dan posyandu setempat, serta ketua kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Aaf merasakan bertanggung jawab untuk berbagi pengetahuan kepada para ibu lain di lingkungan sekitarnya.
Meski sibuk mengurus rumah, mengasuh anak, dan membuat konten di media sosial, Aaf masih menyempatkan mengobrol dengan para ibu di lingkungannya—biasanya di sore hari saat anak-anak bermain di posyandu, atau saat mengurus kebun komunitas.
Di lingkungan Aaf, kebun komunitas telah berkembang dari sarana mengisi waktu bagi para ibu menjadi sumber penting produk segar dan protein hewani bagi keluarga. Hasil kebun seperti pisang dan pepaya, berbagai sayuran hijau, unggas dan lele, selaras praktik pemberian makan anak yang dipromosikan Aaf.
Selain informasi tentang pemberian MPASI yang dianjurkan dimulai saat anak berusia enam bulan, Aaf juga belajar tentang kebutuhan gizi anak di bawah usia dua tahun. Baginya, jelas bahwa misinya juga harus fokus pada mengedukasi para ibu tentang bahaya mengandalkan makanan kemasan, yang sering kali tinggi pengawet, pemanis, dan kalori kosong. Makanan kemasan praktis, tetapi tidak bergizi.
Aaf paham, hal yang ingin ia ubah adalah hal yang sensitif karena berkaitan dengan kebiasaan seseorang. Sebab itu, Aaf berhati-hati dengan pendekatannya. “Saya perkenalkan informasi makanan sehat ke ibu-ibu lain sambil mengobrol santai, karena tidak mungkin disampaikan secara formal," katanya.
"Saya mengerti kenapa ibu-ibu memberikan makanan kemasan kepada anaknya Mereka mencari kepraktisan. Saya percaya, apa yang saya sampaikan pelan-pelan akan diterima.”
Dengan kesabaran dan ketekunan, Aaf mulai melihat perubahan karena semakin banyak ibu di lingkungannya yang mulai menerapkan kebiasaan makan yang lebih sehat untuk anak-anak mereka.
Di Jawa Tengah, Fatayat NU memiliki lebih dari 135.000 anggota di 37 cabang. Semuanya berdedikasi untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak. Latar belakang anggota pun beragam, mulai dari tenaga kesehatan hingga ibu rumah tangga seperti Aaf, yang berperan penting dalam nutrisi keluarga mereka.
"Sebagai kader dan ibu, saya berkomitmen untuk menumbuhkan kebiasaan makan yang lebih sehat pada anak-anak di lingkungan kami," kata Aaf. "Saya akan aktif menyosialisasikan cara ini melalui posyandu dan wadah lainnya, memastikan anak-anak tumbuh dengan pengetahuan dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk menjalani gaya hidup sehat."